‘Traveling Light’ ke Penang
Siapa yang tidak suka traveling, khususnya bagi ‘penggila’ fotografi? Hampir semua fotografer saya pikir sangat suka melakukan perjalanan, tentu dengan cara dan tempat yang sesuai dengan selera masing-masing. Bahkan beberapa diantara kita rela membawa banyak sekali perlengkapan fotografi. Mulai dari body kamera profesional lebih dari satu, berbagai macam lensa dari super wide lense hingga telephoto lens, tripod, flash, serta gears yang lain, demi mendapatkan foto-foto yang indah dan membanggakan. Ini merupakan hal yang biasa dan sah-sah saja, karena untuk apa kita membelinya kalau tidak untuk menggunakannya.
Namun perjalanan saya kali ini ke Pulau Penang, Malaysia, sangatlah berbeda dengan kebiasaan tersebut. Karena bukan merupakan perjalanan penugasan (assignment) maka saya memilih melakukan perjalan dengan ringan saja (traveling light). Saya tidak ingin mengurangi kenikmatan wisata ini dengan beban yang berlebihan. Nyaman, menarik, asik, dan masih bisa memuaskan diri dengan membuat foto yang menarik dan bermakna. Itu yang ada di kepala saya sebelum melakukan perjalanan ini.
Hanya dengan menggunakan tas punggung 22 liter dan tas kamera kecil, saya mengunjungi pulau yang dikenal sebagai Mutiara Timur ini. Backpack saya isi dengan 2 baju, 2 celana jeans, 1 kaos, 1 celana pendek, 2 pakaian dalam, 1 handuk microfibre, peralatan mandi, dan laptop. Baju saya memilih membawa baju ‘outdoor’ yang ringan dan mudah kering kalau dicuci. Jeans merupakan celana favorit, walau berat tapi cukup tahan ‘kotor’. Kalaupun kotor toh saya tidak berencana untuk mencucinya sendiri. Semua pakaian tersebut saya masukkan ke dalam tas punggung dengan cara menggulungnya satu persatu, tidak dilipat seperti kebiasaan kita menyimpannya sehari-hari, karena itu akan banyak memakan tempat.
Memang, sayang sekali saya harus membawa laptop 13 inchi tersebut, kalau tidak pasti saya bisa menghemat beban 2,5 kg di punggung saya. Namun karena ada presentasi yang harus saya lakukan di Kuala Lumpur terlebih dahulu, terpaksa saya membawanya.
Tas kecil saya isi dengan pasport, tiket, alat tulis, berbagai macam charger, recorder, dan tentunya kamera yang mempunyai berat kurang sekitar 0,5 kg dengan satu-satunya lensa yang menempel dibadannya. Keuntungan membawa kamera yang ringan adalah membuat kita semakin punya banyak tenanga untuk memikirkan apa yang akan difoto. Berbeda bila sudah terbebani banyak perlatan, kadang untuk mengeluarkannya dari dalam tas saja kita sudah berasa berat, dan sangat sering objek bagus tidak mau menunggu dan hilanglah kesempatan kita mengabadikan momen berharga tersebut.
Setibanya di Bandar Udara, Bayan, Penang, saya lngsung menuju George Town, pusat kota Pulau Penang yang dijadikan oleh UNESCO sebagai salah satu kota warisan budaya dunia. Tidaklah sukar melakukan perjalan di kota ini. Selain peta wisata yang disediakan sangat jelas, juga nama-nama jalan terpasang sangat rapi. Kalaupun kebingungan, kita masih bisa menayakan dengan orang lokal yang mengerti bahasa melayu. Pendek kata kota yang didirikan pada 1786 oleh Kapten Francis Light, seorang pedagang British East India Company ini, cukup mudah untuk dijelajahi bahkan oleh seorang pelancong pemula sekalipun.
Dua hari saya menjelejahi kota yang sangat kental dengan arsitektur kolonial dengan citarasa Melayu, China, Arab, Eropa, dan India ini. Menyusuri warisan-warisan budaya Islam, Tao, Hindhu, Budha, Protestan yang berbaur tanpa banyak menimbulkan masalah yang berarti. Sebagian besar perjalanan saya lakukan dengan berjalan kaki santai saja. Sesekali berhenti dan berbincang-bincang dengan penduduk lokal.
Ringan dan menyenangkan, itulah yang saya rasakan saat mengunjungi tempat ini, tanpa mengurangi esensi sebuah perjalanan. Menemui orang-orang baru dan melihat budaya lokal. Kemudian pulang dengan cerita dan wawasan baru, juga pemahaman diri yang bertambah. (Ahmad Zamroni, April 2011)
Ahmad Zamroni is a photographer based in Jakarta.